Reformasi
Pendidikan Sebagai Proyek Perbaikan Peradaban Bangsa Indonesia ( Pertama)
Oleh : Rahmat Nurudin*
Founding
Father Bangsa Indonesia adalah tokoh yang sangat perduli dengan dunia
pendidikan. Meraka melihat ini adalah saran untuk perbaikan peradaban Bangsa Indonesaia
yang baru saja merdeka waktu itu. Hal ini dibuktikan mereka dengan berkomitmen bahwa
mencerdaskan bangsa Indonesia adalah proyek jangka panjang bangsa, serta telah
termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Kebijkan
terbaru terkait Undang undang
pendidikan ada dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003, yang mengatakan bahwa dunia
pendidikan harus diberikan anggran sebesar 20 % dari APBN atau APBD di tingkat
daerah. Kebijakan ini sangat jelas tertuang dalam UU SISDIKNAS, sehingga amanah
undang-undang merupakan
suatu hal yang besar dan menuntut keseriusan
pemerintah dalam menangani dunia pendidikan. Tekad pemerintah Indonesia waktu
itu memang cukup beralasan, bahwa masih banyak rakyat yang buta huruf setelah mengalami
penjajahan Belanda dan Jepang selama ratusan tahun. Oleh karena itu pendidikan adalah suatu
kepastian yang tidak bisa dipungkiri. Seiring perjalanan zaman dan bertambahnya
usia bangsa Indonesia yang mencapai 65 tahun saat ini, pendidikan Indonesia bisa di katakan mengalami
perkembangan signifikan dari segi berkurangnya angka buta huruf masyrakat
Indonesia. Pada zaman Penjajahan dan awal kemerdekaan angka melek huruf Bangsa
Indonesia tidak lebih dari 10% dari jumlah 80 juta an rakyat Indonesia waktu
itu. Sekarang angka buta huruf Bangsa Indonesia masih di kisaran 8% dari kurang
lebih 230 juta penduduk Indonesia.
Melihat perjalanan sejarah filosofi
pendidikan Indonesia yang bertujuan unutk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk
mencapai ini segi intelektualitas menjadi prioritas utama demi mengisi
posisi-posisi tenaga kerja teknis dalam rangka menjalankan roda pemerintahan
dan roda ekonomi masa-masa awal kemerdekaan. Oleh sebab itu suatu hal yang
wajar kemudian mulai era orde baru
pemerintah mencangkan program wajib belajar 9 tahun serta menanggung subsidi
biaya pendidikan yang telah diamanahkan oleh UUD 1945. Pemerintah memang fokus pada pengembangan intelektual pemuda
dari segi akademis dan ketrampilan praktis agar generasi tersebut nantinya siap
dipakai untuk kerja di instansi-instansi pemerintah. Mereka kelak menjadi
birokrat-birokrat pemerintah yang mendudukung penuh segala kebijakan-kebijakan
pemerintah orde baru terutama di bidang pendidikan. Pemerintah mengarahkan
orientasi pendidikan demi mencetak generasi
yang mendukung pemerintah
orde baru dengan segala kebijakan-kebijakannya.
Pendidikan dilihat secara praktis untuk memberi bekalan teori-teori yang miskin terapan
dan menjauhkan nilai-nilai moral kenapa ilmu itu perlu dicari dan diterapkan.
Hal-hal mendasar diatas menyebabkan implikasi luar biasa.
Bersasarkan
Prof. Dr. Arief Rachman (Mantan
Duta UNICEF PBB), dampak hebat system pendidikan Orde Baru yang masih tersa
sampai sekarang dapat dijabarkan sebagai SEMBILAN
TITIK LEMAH PENDIDIKAN INDONESIA. Harapannya ini
menjadi refleksi bagi kita bersama agar kedepan dapat merumuskan reformasi
pendidikan dimulai dari evaluasi yang sedang terjadi masa lalu dan berdampak
saat ini. Refleksi penurunan kharakter bangsa ini menunjukan adanya kesalahan
arah proses pendidikan, kesalahan-kesalahan itu seperti:
Pertama, Keberhasilan
pendidikan hanya di ukur lewat keunggulan ranah kognitif dan nyaris tidak
mengukur ranah afektif dan psikomotorik sehingga pembinaan watak dan budi
terabaikan.
Kedua, Evaluasi pendidikan dari
Sekolah dasar hingga perguruan tinggi cenderung memakai instumen yang
mengesampingkan pola berpikir konvergen dan kritis sehingga siswa lemah dalam
berpikir imajinatif dan kreatif. Peserta didik menjadi objek pasif bukan subjek
aktif
Ketiga,
proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran-pengajaran teori yang minim
ada aplikasi lansung, sehingga
hal ini menimbulkan kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja
Keempat,
kemampuan penguasaan pengetahuan tidak disertai dengan pembinaan kegemaran
belajar. Akibatnya lembaga pendidikan menjadi lembaga elit dan asing yang jauh
dari dari kehidupan dan keperluan sehari-hari.
Kelima,
title dan gelar pendidikan menjadi orientasi pendidikan, tidak disertai dengan
tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, sehngga terjadi pengejaran title yang tidak
sehat. Kultur Universitas
menjadi kultur seremonial dan pengejaran status.
Keenam,
materi pendidikan dan buku-buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang
miskin akan upaya-upaya untuk menyeimbangkan faktor praktik dan teori , faktor
ilmu pengetahuan dan teknologi dan imam dan takwa( IMTAQ).
Ketujuh, manajemen
pendidian yang menekannkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada
pemrintah dan bukan pada seluruh stake holder
pendidikan( masyarakat, orang tua, murid )
Kedelapan, profesi guru
cenderung menjadi proifesi ilmiah yang jauh dan kurang disertai bobot profesi
kemanusiaan dan professional sehingga guru dan murid terkesan sebagai hubungan
produsen dan konsumen. Hubungan yang ideal adalah seperti hungungan orang tua
dan anak
Kesembilan , political
will( baca: niat baik pemerintah) dalam rangka meningkat aksesbilitas kualitas
pendidikan Indonesia. Pendidikan menjadi suatu barang yang mahal dan semakin
tak terjangkau untuk kalangan bawah. Pendidikan hanya untuk kepentingan
komersialisasi dan lahan bisnis.
0 Comments:
Posting Komentar