Mentoring, Strategi Efektif Mendidik Remaja Jauh dari Budaya Kekerasan
Oleh
Rahmat Nurudin
Budaya kekerasan seolah bukan menjadi hal asing dikalangan
anak didik kita. Berita terbaru di salah sekolah di Bukit Tinggi, anak seusia
SD melakukan adegan kekerasan di sekolah kepada teman sebayanya. Sungguh ironis
bahwa peristiwa itu malah menjadi bahan tontonan rekan-rekan sebayannya tanpa
peduli untuk melerai atau mencegah sikap kekerasan tersebut. Adegan rekaman
kekerasan yang tersebar luas di berbagai media tersebut seolah menjadi tamparan
keras untuk dunia pendidikan Indonesia betapa budaya kekerasan dikalangan
remaja sudah mencapai level yang menghawatirkan. Adegan kekerasan tersebut bisa
jadi sekedar fenomena gunung es, kejadian lain yang belum terekspos di media
kemungkinan lebih banyak lagi yang tidak diketahui oleh publik. Menjadi tugas
besar siapapun yang peduli dengan dunia pendidikan Indonesia untuk segera
berbenah diri, mengevaluasi diri dan menatap masa depan pendidikan Indonesia
untuk menciptkan generasi muda Indonesia yang berbudaya dan bermoral baik.
Sebagai seorang guru yang mengajar di sekolah menengah
pertama dan sering bersinggungan dengan dunia remaja, menjadi pengamat perilaku
remaja, meneliti berbagai kasus kekerasan dikalangan remaja, saya sedikit
menarik kesimpulan bahwa berbagai faktor yang menyebabkan sekaligus mendorong
budaya kekerasan dikalangan remaja adalah
Pertama, berbagai tontonan kurang mendidik dan mencontohkan
kekerasan, budaya mengejek dan menjelekan kawan sendiri yang marak di televisi.
Budaya saling mem-bully seolah suatu hal yang lumrah dan tidak bermasalah. Rasa
empati dan saling tolong-menolong dalam kebaikan seolah hilang. Disisi lain
tontonan adegan berpacaran, saling berkelahi memperebutkan cewek idaman menjadi
dominasi tayangan televisi. Sementara
itu berbagai tayangan reality show yang konsep sebenarnya hanyalah sekedar
bercanda-candaan dan lucu-lucuan dengan saling memukul, mengejek, menjelekan
orang lain, seolah menjadi hiburan yang layak untuk menjadi bahan tertawaan,
padahal dampak psikologis bagi penontonnya tidak bisa diremehkan begitu saja. Apalagi
kebanyakan orang tua belum bisa bertindak tegas kepada anak-anaknya untuk
memilih tontonan yang baik dan mendidik. Memang ada bantahan bahwa “jika tidak
suka matikan televisinya tidak usah menonton”. Namun itu bukanlah solusi. Kita
tidak bisa mengontrol apakah orang harus suka ini dan tidak boleh suka itu
karena hakikatnya semua orang menonton televisi untuk mendapatkan hiburan
sekaligus tuntunan. Itu termasuk ranah privat yang setiap orang punya hak dan
kebebasan sendiri. Cara pencegahan terbaik adalah memberikan “hidangan” yang
baik untuk bisa di tonton sekaligus memberikan dampak baik bagi pemirsanya. Bahkan lembaga Komisi
Penyiaran Indonesia ( KPI ) telah merilis tayangan televisi yang tidak layak
ditonton untuk remaja. Berdasarkan kajian dan hasil pemantauan yang telah
dilakukan secara intensif terhadap tayangan anak dan kartun yang disiarkan
stasiun televisi, KPI memutuskan terdapat beberapa tayangan anak dan kartun
berbahaya dan tidak layak ditonton anak-anak. Tayangan tersebut penuh dengan
muatan-muatan yang berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak,
yaitu:
1.
Kekerasan fisik (mencekik, menonjok, menjambak,
menendang, menusuk dan memukul)
2.
Kekerasan terhadap hewan
3.
Penggunaan senjata tajam dan benda keras untuk
menyakiti dan melukai seperti pisau, balok, dan benda-benda lainnya
4.
Kata-kata kasar
5.
Adegan-adegan berbahaya
6.
Perilaku yang tidak pantas seperti membuka
celana dan memperlihatkan ke teman-teman dan merusak benda-benda
7.
Sifat-sifat negatif (emosional, serakah, pelit,
rakus, dendam, iri, malas, dan jahil)
8.
Muatan porno
9.
Unsur-unsur mistis
Setidaknya
langkah ini patut diapresiasi dan di dukung, namun hal itu belum cukup. Harus
ada perlakuan khusus untuk anak-anak remaja kita, calon generasi penerus bangsa
Indonesia.
Kedua, nampaknya fenomena hilangnya rasa empati dikalangan
remaja kita sudah nampak semakin nyata. Tidak diketahui bagaimana hal ini
bermula dan bisa terjadi dewasa ini. Sikap saling menjelekan antar teman
sendiri, saling membully, tidak peduli perasaan orang lain yang tersakiti, egois
dalam bersikap menjadi contoh sikap yang mudah ditemui di kalangan remaja. Dari
data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukan seperti
berikut ini
Dari data di atas bisa kita lihat bahwa jumlah kasus
kekerasan pada anak semakin lama semakin meningkat dari tahun 2010
sebanyak 2.413 kasus menjadi 3.023 kasus
di tahun 2013. Pada tahun 2014 laporan kasus kekerasan telah mencapai 252 kasus
per Maret 2014. Bila hal ini tidak segera dicegah serta ditangani maka ke
depannya makin sering kasus kekerasan terjadi pada remaja. Tentu dampak
kekerasan ini akan berkelanjutan hingga masa dewasa anak nanti
Menelisik ceplosan “emang
gue pikirin”(EGP), “masalah buat eloh (masbuloh)”,”salah elo sendiri” dan
sebagainya. Kita cermati bahwa makna tersirat kalimat tersebut mencerminkan
rasa acuh, cuek dan tidak mau peduli dengan keadaan orang lain. Anehnya justru
kata-kata inilah yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Meski ada yang
mengatakan bahwa hal tersebut Cuma untuk bercanda dan sekedar bahan olok-olokan
semata, namun dampak psikologi jangka panjang alam bawah sadar manusia akan
terbawa dalam jangka waktu yang lama. Memang ada masalah dalam penggunaan
bahasa para remaja kita. Mereka cenderung menggunakan bahasa kasar, mengalami
penurunan kualitas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan sopan. Seiring
dengan perkembangan teknologi informasi, pertumbuhan penggunaan gagdet oleh
para remaja mengalami peningkatan yang pesat. Anak seusia SD sekalipun sekarang
sudah membawa smartphone. Bisa jadi anak-anak jadi lebih asyik dengan dunia nya
sendiri, terputus nilai kepekaan sosialnya dan cenderung lebih egois dalam
bersikap dan mengambil keputusan tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Nilai
kepekaan sosial dan rasa empati yang hilang dari sebagian besar remaja kita
bisa jadi karena adanya pergeseran nilai dan pola pendidikan remaja serta
derasnya arus informasi di era globalisasi. Setiap anak berpotensi untuk
mendapatkan contoh perilaku yang buruk dari berbagai sumber.
Pemerintah Indonesia melalui kebijakan baru penerapan
kurikulum 2013 sebenarnya sudah mencanangkan pola pendidikan karakter melalui
berbagai bentuk aktivitas penbelajaran di ruang kelas maupun di luar kelas,
namun nampaknya hasil dari kurikulum 2013 tidak bisa langsung instan dilihat
dalam jangka waktu yang singkat, perlu adanya proses yang berkelanjutan serta
konsisten dan waktu yang lama untuk melihat hasil dari penerapan kurikulum
pendidikan karakter disekolah. Saya melihat perlunya strategi efektif untuk
mempercepat pola pendidikan karakter siswa serta remaja yang tidak hanya
diberlakukan disekolah saja, melainkan penerapan strategi pendidikan karakter
terintegrasi sekolah dan orang tua serta pihak ketiga yang membantu memberikan
pengarahan, mediasi, fasilitator dan konselor demi tercapainya pendidikan
karakter yang maksimal dan bisa sediki demi sedikit mempercepat perubahan
karakter dan budaya siswa serta remaja dengan syarat perlakuan model
pembelajaran yang konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan.
Demi menjawab permasalahan tersebut, Saya tertarik dengan
model pembelajaran mentoring sebagai penunjang kegiatan pembinaan anak di
sekolah dan di luar jam belajar sekolah. Pola pendidikan mentoring memiliki
banyak keunggulan yang mampu menjawab berbagai masalah pembelajaran di sekolah
dan strategi pendidikan karakter yang efektif terhadap anak/remaja. Ada
beberapa tantangan pola pembinaan, konseling dan pendidikan karakter yang
sejauh ini berjalan penerapannya di kurikulum 2013, misalnya saja adalah
lemahnya kontrol dan integrasi dengan pendidikan agama, moral dan etika anak
baik dari orang tua maupun dari guru sendiri. Saya melihat bahwa tantangan
kelemahan strategi ini bisa di jawab oleh mentoring. Hal ini tentunya berpengaruh
besar terhadap pencegahan dan pembinaan untuk pelaku budaya kekerasan maupun
dari korban kekerasan itu sendiri. Berbagai keunggulan pendidikan secara
mentoring misalnya adalah
Pertama, pembinaan
pada pendidikan mentoring mengintegrasikan pendidikan formal sekolah dengan
strategi lembaga mentoring yang ditunjuk dari sekolah. Lembaga mentoring
memberikan pendidikan dengan membagi kelompok-kelompok kecil siswa dengan satu
mentor pembina. Mentor ini berperan sebagai fasilitator, konselor, tempat
curhat, bahkan orang tua kedua yang bertanggung jawab atas tindakan dan potensi
kedepannya. Mentor ini juga mempunyai kewajiban untuk berkomunikasi dengan
orang tua kandung siswa dalam rangka pembinaan berkelanjutan anak selama di
rumah. Selain itu bila ada penugasan atau pengawasan tertentu untuk anak, kerja
sama orang tua dan mentor dituntut lebih
intesif dan proaktif demi menyelesaikan masalah serta kendala anak.
Kedua, Pembinaan
secara intensif dan berkala dalam tempo waktu minimal sekali sepekan atau
sebulan sekali. Pembinaan ini bisa di kuasakan pada mentor-mentor yang tunjuk
dari pihak sekolah yang berasal dari guru-guru sekolah itu sendiri maupun
melakukan kerja sama dengan para pembina yang di datangkan dari Lembaga Mentoring
Profesional maupun dari Sukarelawan. Para mentor ini telah dibekali oleh
pengalaman dan pemahaman bagaimana menangani permasalahan remaja dan seluk
beluknya. Memberikan pembinaan dengan pendekatan moral, etika dan karakter anak
remaja. Pembinaan ini tentu juga mengintegrasikan pelajaran disekolah serta
pendidikan agama/akhlaq yang baik sesuai dengan tuntutan kurikulum pemerintah
saat ini.
Ketiga, Mentoring
memberikan variasi kegiatan penunjang demi memperkuat pendidikan karakter anak
serta menyalurkan potensi anak secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan
mentoring yang dikelola secara profesional memberikan berbagai kegiatan
penunjang seperti tafakur alam dengan kemah bakti dan jelajah alam bahkan
outbond, tugas membaca buku dan diskusi dengan kelompok mentoring, renungan
suci dan muhasabah diri, pelatihan motivasi dan potensi diri, bakti sosial,
sumbangan dana sosial dan sebagainya. Tujuan pembinaan dan kegiatan penunjang
tersebut adalah untuk membentuk karakter
remaja yang kuat dan berkepribadian baik tentunya adalah mengikis budaya
kekerasan bahkan menghilangkannya. Potensi positif nya bisa disalurkan melalui
kegiatan pembinaan mentoring seperti hiking, maupun olah raga bela diri di bawah pembinaan pendidikan
mentoring.
Tinggal bagaimana guru dan siswa yang ada di sekolah bisa
memanfaatkannya sebagai bagian dari proses pendidikan baik itu masuk sebagai
kurikulum inti atau tambahan, yang jelas manfaatnya cukup dirasakan baik oleh
guru maupun siswa itu sendiri bahkan orangtua. berbagai manfaat yang nyata dari
kegiatan mentoring misalnya adalah secara psikologis kedekatan guru/mentor
dengan siswanya akan lebih terjalin sehingga akan mendukung proses pembelajaran
selanjutnya baik di kelas atau di luar kelas, secara pedagogis maka dengan
sendirinya akan mendukung program pendidikan karakter, pendidikan karakter yang
tidak menjelimet seperti pada kurikulum 2013 serta secara akademis forum
mentoring bisa dijadikan sebagai ajang konsultasi akademik, karena dalam
mentoring selain diisi dengan bimbingan rohani juga ada diskusi ilmiah serta
musyawarah.
Sekilas tentang keunggulan strategi pendidikan anak secara
mentoring itulah yang dipandang bisa menjawab kelemahan strategi pendidikan
karakter remaja. Paling tidak hal ini bisa mengikis budaya kekerasan dan mencetak
generasi muda yang unggul dan bermoral baik bagi bangsa Indonesia kedepannya.
sumber :
http://edukasi.kompasiana.com/2014/10/13/mentoring-strategi-efektif-mendidik-remaja-jauh-dari-budaya-kekerasan-685141.html
0 Comments:
Posting Komentar